Cikal Network

Saturday, 27 June 2015

Kemilau Senja Tanpa Narkoba


“Aku masih di kampus... Hmm, sekitar dua jam lagi aku akan menemuimu... Ya, aku tahu! sabarlah..”
            Fandi melangkah perlahan. Tangan kanannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, dan tangan kirinya berada di dalam saku jaket yang ia kenakan. Ia menghembuskan napas panjang dan mengerutkan kening. Sudah 2 bulan terakhir sejak ia terlibat dalam bisnis barang terlarang nan haram tersebut ia sering pulang telat ke kamar kost yang menjadi tempat tinggalnya selama ia kuliah di Jakarta, bahkan tidak banyak waktu lagi untuk ia jalan atau sekedar nongkrong bersama teman-teman dan sahabatnya.
            “Lia, maaf sudah dulu ya? Sabarlah,” Fandi menyela ucapan Natalia dan langsung menutup telepon. Langkahnya terhenti ketika ia sampai di pertigaan di ujung jalan yang ia lewati. Ia melintas menyeberangi jalan dan masuk ke area taman kota di sisi jalan kecil nan ramai lalu-lalang kendaraan bermotor.
            “Berapa yang kau mau..? Baru kemarin kau bawa sudah habis rupanya..” ucap seorang pria berkacamata hitam yang tiba-tiba sudah ada dibelakangnya. Pria berkacamata hitam itu masih muda, mungkin usianya sekitar dua pulih tiga tahun.
            “Aku perlu sepuluh butir lagi.” Jawab fandi dengan sedikit simpul senyum yang tersirat.
            “Ini, aku sudah siapkan, kebetulan pas sesuai dengan yang kau pinta.” Pemuda itu merogoh saku celana jeans yang ia kenakan dan memberikan apa yang Fandi minta.
            “Sepuluh butir?” Timpal Fandi untuk kembali memastikan sambil memberikan sejumlah uang yang sudah ia siapkan.
            “Ya, tentu saja.”                            
            Pria berkacamata hitam itu langsung meninggakan Fandi setelah transaksi selesai dan hilang dari pandangan ketika melewati barisan pepohonan rindang di sekitar taman itu. Fandi lagi-lagi hanya tersenyum, sambil memasukkan pil ekstasi yang baru ia dapatkan dari pria yang ia kenal tepat dua bulan lalu dan pria itulah yang membuat Fandi selalu membutuhkan barang haram itu.
            “Duaaar!” suara tembakan peringatan terdengar di taman itu.
Fandi terkejut dan dengan sigap lari setelah ia tahu bahwa itu suara tembakan dari dua orang polisi yang berusaha mengejarnya.
“Berhenti sekarang !” teriak salah seorang polisi sambil tetap berlari di atas trotoar yang ramai dilalui pejalan kaki.
Aksi kejar-kejaran terjadi. Fandi berlari sambil sesekali menoleh kebelakang untuk memastikan menjauh dari kejaran polisi itu. Lari yang tidak terkontrol dengan rasa panik yang Fandi hadapi berbuah petaka. Fandi terjatuh, kakinya tersandung akar pohon di pinggir trotoar. Ia mencoba bangkit untuk berdiri. Namun, ia kalah cepat dengan polisi yang mengejarnya. Belum sempat ia berdiri polisi itu sudah lebih dulu meringkus Fandi dengan memborgol lengan kiri Fandi dan membawanya ke mobil patroli untuk selanjutnya dibawa ke kantor polisi.
Di Kantor Polisi Fandi menangis. Air matanya terlihat jatuh tak kuasa meratapi peristiwa yang baru saja ia alami.
“Sudah berapa lama kamu terlibat dengan bisnis narkoba?” tanya polisi yang membuat laporan terkait kasus Fandi.
“dua bulan pak” jawab Fandi sambil mengusap sedikit air mata yang tersisa di pipinya.
Setengah jam sudah tahap interogasi dilalui oleh Fandi sebelum akhirnya ia berpindah ke ruang jeruji besi.

***
“Apa? Baik pak saya segera kesana!” jawab Natalia ketika mendapat laporan dari polisi terkait penahanan Fandi.
            Paras cantik gadis kelahiran Yogyakarta yang juga merupakan sahabat Fandi ini biasa dipanggil dengan nama Lia. Sudah dua setengah tahun persahabatan mereka terjalin, meski pada dasarnya tidak dapat dipungkiri bahwa ada rasa lebih dari sekedar sahabat diantara mereka.
            “Anda Natalia teman saudara Fandi?” tanya polisi ketika Lia baru tiba di kantor polisi dimana Fandi ditahan.
            “Ya pak, saya sendiri.. Saya Sahabatnya.” Jawab Lia dengan wajah harap-harap cemas ingin cepat melihat keadaan sosok sahabat yang selalu mendengar keluh kesahnya itu.
            Tidak butuh waktu lama, Natalia langsung diarahkan menuju sel dimana Fandi ditahan. Dari pandangan mata indah nya terlihat pria yang tadi sore menjanjikannya akan datang menemuinya justru tidak datang, bahkan dia sendiri lah yang menemuinya. Dengan wajah tertunduk seraya bersimpuh, Fandi terlihat sangat terpukul.
            “Jadi, selama ini alasan kau telat, alasan untuk tidak bisa sesering dulu menemaniku, mendengarkanku... hanya untuk ini?” suasana berubah menjadi tegang ketika Lia bertanya pada Fandi dengan sorot mata yang berkaca-kaca.
            “Natalia... Maafkan aku...” Fandi hanya mampu menjawab singkat.
            “Aku sudah menelepon kedua orang tuamu. Dia sudah berangkat ke Jakarta.”
            “Tapi mereka bisa marah padaku.. Kenapa kau meminta mereka datang kesini?”
            “Sudahlah.. Lalu untuk apa mereka membiayaimu kuliah? Itu semua karena mereka menginginkanmu menjadi anak yang bisa sukses dan kelak menjadi orang besar!”
            Mereka saling berbicara satu sama lain. Fandi menatap tajam mata Lia, ia tidak menyangka gadis ini bisa berpikir lebih dewasa ketimbang dirinya meskipun usia mereka terpaut jarak satu tahun. Ya, usia Fandi satu tahun lebih diatas Lia. Tapi usia memang bukan menjadi tolak ukur kedewasaan.
            “Aku akan menunggu.. Tapi tolong, aku hanya ingin kau yang dulu. Seutuhnya... Bukan Fandi seorang pemakai atau pengedar!”  Lia menyela ucapan Fandi.
            Fandi yang duduk bersila di ruang tahanan dengan tatapan mata yang berbinar menatap lembut Natalia. Natalia berbalik badan dan berjalan perlahan meninggalkan Fandi, lalu berhenti sejenak tanpa memalingkan wajah ke arah fandi seraya berkata, “Jauhi Narkoba, dan jangan pernah mendekatinya lagi. Lihat dunia dan kau akan tahu bagaimana dunia ini membutuhkan karyamu.”

Sejak saat itu Lia benar-benar tidak datang lagi ke dalam sel tahanan Fandi. Tiga bulan berlalu Fandi mulai berangsur-angsur melupakan kisah silam yang merupakan masa lalunya yang kelam dengan narkoba barang terlarang itu. Di tempat rehabilitasi sambil menjalani masa hukumannya Fandi giat menggeluti pekan kreatifitas tahanan yang selalu ada setiap minggu. Dari sanalah lembaran hidup Fandi dimulai. Ia mulai terlihat merangkai kata-kata, mencurahkan perasaan lewat bait-bait puisi, lewat aksara yang mewakili rasa Fandi menghadirkan decak kagum para penjaga lapas bahkan petugas kepolisian yang sempat meringkusnya dulu.
Orangtuanya secara rutin mengunjunginya setiap akhir bulan. Senyum sumringah terpancar dari orang tuanya kala saat melihat anak sematawayangnya berubah tak seperti dulu.
“Fandi, papa bangga sama kamu. kemarin papa dihubungi oleh pihak penerbit.” Ujar Papa sambil menepuk bahu Fandi.
“Iya Fan, Mama kemarin lihat langsung karya kamu yang ditunjukkan oleh mereka. Mereka tertarik dengan tulisan-tulisan yang kamu buat.” Tambah Mama dengan mimik wajah bangga.
“Sungguh Pa? Ma? Terimakasih banyak telah mendukung Fandi selama ini.” Dengan nada haru Fandi bersimpuh dan memeluk kedua orang tuanya.

***
Tiga tahun kemudian...
            Suasana di salah satu toko buku terbesar di kawasan Pasar Senen Jakarta itu terlihat ramai sekali. Di depan toko terpasang spanduk bertuliskan “Peluncuran Buku Mereka bisa, Akupun Bisa!”. Para pengunjung toko yang lalu-lalang baik dari kalangan pelajar, mahasiswa atau orangtua yang tertarik menyimak presentasi peluncuran buku itu.
            “Permisi, Mas siapa penulis buku yang sedang launching itu ya?” tanya Lia pada salah satu pengunjung toko.
            “Oh, itu Fandi Alamsyah. Ada apa ya mba?  Oh ya kalo mau membeli bukunya cepat ya mba sebelum habis, maklum ramai sekali pengunjungnya.” jawab pengunjung toko dengan ramah.
            Lia penasaran, langkahnya perlahan mendekati stand tempat peluncuran buku itu. Dari celah-celah pengunjung yang padat itu ia bisa melihat, sosok wajah yang tidak asing baginya. Secara tidak sengaja saat itu pandangan Fandi bertemu dengan tatapan penuh tanya Natalia. Wanita itu tersenyum dan Fandi membalas senyumnya dengan kaku.
            “Permisi..” Fandi mencari celah di tengah keramian pengunjung untuk mendekati Lia yang masih berdiri tanpa bergerak sedikitpun.
            “Kamu, Natalia kan..?” tanya Fandi
            Dengan kikuk Lia menatap wajah Fandi. “Apa kabar?” tanya Lia dengan suara bergetar.
            Fandi membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Apakah ia harus menjawab pertanyaan Lia ? Sedangkan ia masih tidak percaya bisa bertemu lagi dengan gadis spesial yang dulu selalu menemaninya.
            Akhirnya Fandi bicara, “Ya kabarku baik, Bagaimana denganmu?” sesekali Fandi menatap mata indah gadis Yogyakarta yang benar-benar tampak berbeda saat ini.
            “Tentu saja aku baik-baik saja.. Kapan kamu bebas dan kenapa tidak mengabariku?” timpal Lia dengan bersemangat.
            “Setahun yang lalu aku bebas, Banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadamu, Bisa makan siang denganku hari ini?” Sambil memberikan senyuman Fandi mengangkat kedua alisnya.
            “Oke, siang ini ya” jawab Lia dengan perasaan senang

***
Di Sebuah Cafe....
            Kicauan burung kenari dalam sangkar dan rindangnya pepohonan menemani kebersamaan dua insan yang sedang menikmati makan siang sambil bertukar kisah yang terlewatkan beberapa tahun belakangan. Anyaman dan ukiran relief dinding cafe menambah sejuknya nuansa siang itu.
            “Sebaiknya penjepit dasimu kau turunkan sedikit lagi. Kau harus terlihat rapih dan elegan” perintah Lia sambil melirik penjepit dasi Fandi yang sedikit terlalu naik.
            “Iya masalah kerapihan aku kalah denganmu Lia si Sarjana Desain” balas Fandi dengan sedikit menggoda.
            Natalia berhasil menyelesaikan kuliah nya dengan predikat cum laude sebagai Sarjana Desain Produk Industri. Berbeda halnya dengan Fandi yang drop out akibat kasus narkoba nya dulu. Akibat kasus itu pula lah ia dijauhi oleh teman-temannya setelah tahu bahwa ia terlibat dan diringkus oleh aparat penegak hukum.
            “Kamu tampan ya sekarang, beda..”
            “Beda dengan yang dulu? Dulu belum dewasa?” belum selesai Natalia bicara, Fandi sudah memotong.
            Lia hanya tersenyum manis. Fandi menggenggam tangan Lia seraya berucap, “Kamu masih menungguku kan? Masih ingat apa yang kau ucapkan sebelum pergi meninggalkan ku dulu?”
            “Iya, kamu menepati janjimu, dan aku juga sudah melihat perubahanmu”
            Satu jam berlalu di Cafe itu mereka mengakhiri pertemuan itu dengan saling bertukar nomor ponsel dan berjanji untuk menhubungi di lain waktu.

4 Maret 2015
            Hari ini berbagai media cetak dan elektronik serta surat kabar merilis pemenang “Best Seller” kategori buku motivasi. Fandi Alamsyah keluar sebagai pemenang dengan bukunya “Mereka bisa, Akupun bisa!”. Sebuah ajang bergengsi yang ia menangkan tepat di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh empat tahun tahun. Pujian hingga ucapan selamat terus berdatangan yang ditujukan pada Fandi. Hingga di ujung senja ponsel nya bergetar, panggilan masuk bertuliskan nama Natalia.
            “Hallo, Fandi selamat ya..” tedengar suara setelah fandi mengangkat telepon dari Natalia.
            “Hey, aku pikir siapa.. Terimakasih Lia” jawab Fandi
            “Aku melihat namamu di majalah. Kamu keren Fan!
            “Kamu dimana sekarang?” tanya Fandi pandangannya menerawang memikirkan Lia si gadis Yogyakarta itu
            “Keluarlah, lihat kebawah dari jendela kantormu” sambil memutar badan Lia berbalik menghadap jendela ruangan kantor Fandi.
            Sebenarnya Lia memang membuat kejutan untuk Fandi, dia membawa teman-teman Fandi yang dulu biasa nongkrong bersama ketika masih kuliah dulu. Tak lupa kue tar yang sudah dipersiapkan Lia dan teman-temannya. Rupanya bukan hanya Lia dan teman-teman Fandi yang ingin membuat kejutan. Di sisi lain sudut taman bawah kantor Fandi juga terlihat kedua orangtua Fandi.
            Fandi membuka tirai jendela kantornya itu dan tersenyum lebar, benar-benar tak habis pikir akan mendapatkan kejutan seperti ini. Ia bergegas turun melewati anak tangga, dan berlari hingga ke taman.
            “Fandiii...” teriak teman-temannya sambil memeluknya melingkar.
            “Kami merindukanmu Fandi, Maafkan kami yang meninggalkanmu dulu” satu temannya berkata sambil menitikkan air mata haru.
            “Maafkan aku juga, sudahlah yang penting hari ini kita sama-sama belajar dari pengalaman hidup yang kita lalui” fandi berkata bijak.
            Ia pun tak lupa memeluk kedua orangtuanya dan Lia yang memegang kue tar dengan hiasan lilin tertanda angka dua puluh tiga diatasnya.
            Ciuman dari Fandi mendarat di kening Lia. Dengan tersenyum Lia menatap Fandi.
            “Selamat Ulang Tahun Fandi Alamsyah” dengan sedikit iseng memberikan colekan kue tepat di hidung Fandi. Orangtua dan teman teman Fandi hanya menyaksikannya sambil tersenyum dan meledek Fandi sesekali dengan simpul senyum indah yang tersirat. Ya, mereka semua menyayangi Fandi, dengan karyanya yang menjadi Inspirasi Dunia!

***
            Narkoba hanya akan membawamu pada fase masa hidup yang kelam. Jangan pernah mencoba sedikitpun Narkoba dan Narkotika! Karena masa mudamu terlalu indah untuk dirusak oleh obat-obatan yang hanya untuk kenikmatan sesaat belaka. “Stop Narkoba Mari Berkarya!”

Karya :
Fauzi Cikal Antariksa

Teknologi Pengolahan Pulp dan Kertas - Institut Teknologi dan Sains bandung
Share:

Thursday, 4 June 2015

Menulis....

malam teman menulis ku...
malam ini gw masih nyempetin nulis walau gw tau nih padat merayap jam, dikejar deadline Laporan Kemajuan PKM besok karna, Jum'at dah harus presentasi Monev. belum lagi besok adalah UAS mata kuliah bu nyoman, yah buat temen gw yg satu jurusan mungkin dah ga asing denger nama beliau wkwkwkwk

sejenak gw teringat darimana gw mulai suka tulis menulis? gw gatau pastinya kapan tp yang jelas bakat ini dr mamah gw, dulu mamah gw sampai ikut berbagai ajang lomba ya walaupun ga juara :D
 disamping dari mamah, dari orang2 sekitar jg berperan penting, awalnya sih dari hobi gw baca dari SD dan gw selalu mau tahu tentang hal-hal baru dari buku cerita surga neraka sampe tentang luar angkasa gw obrak abrik jaman SD. gw masih inget waktu gw kelas 5 SD puisi gw juara di sekolah kalo ga salah masuk 3 besar, dan dipajang di mading, judul puisinya "sekolahku" :D

Masuk SMP makin maniak dah gw baca, ya hampir setiap hari gw nyempetin diri masuk perpus, baca sebentar. gw mulai aktif pinjam2 buku, masih jaman SMP jg gw coba daftar ke perpus kabupaten karawang, gw mulai baca banyak buku disana mulai dari foklor jepang, kerangka manusia purba sampai kebudayaan NKRI sendiri, tahah air Ibu Pertiwi !

cinta menulis di SMP makin tumbuh setiap gw dapet tugas makalah atau paper gitu ya walaupun gw gak ada laptop tapi gw suka kerapihan, dulu mah ga banyak tau banyak fitur di word, gw sampe ngerapihin word aja lama banget. ya tp overall gw jd tau gimana estetika penulisan yg baik.

SMA waah ini masa dimana gw dah mulai jarang baca buku selain buku pelajaran wkwkwkwk terlalu tekun gw belajar nih di SMA ya tp msh kalah sm murid sma lain. ya sadar diri aja gw waktu SD dan SMP kurang maksimal jd ibarat anak tangga ya gw ga punya anak tangga yg bawah jd anak tangga cm ada di atas, atau ibarat rumah ga ada pondasinya ya rapuh. tp gw masih nyempetin baca buku2 lain buku fiksi atau non fiksi. gara2 mantan gw jg gw mulai suka novel dan suka sm yg namanya penyiar radio,

sekarang, di bangku kuliah cita-cita kecil gw ya gw penngen nerbitin sedikit tulisan gw, cerpen atau novel gt, walau cuma satu edisi tp mungkin dah cukup sebagai hasil yang istimewa untuk kalangan penulis yg iseng2 dan jauh dari kata komitmen wkwkwk karna gw vakum nulis hampir 2 tahun :D

cuma sekarang jd semangat lagi karna banyak yg bisa gw ungkapin lewat tulisan,...

doain yaa oktober novel semoga bs kelar, bocoran aja novel nya nanti lima chapter, dan gw jg mau coba gandeng temen2 gw n satu adek kelas gw yg cukup potensial menulis, karna untuk karya pertama gw ini gw perlu banyak masukan dan support.

Penulis Novel favorit? Ilana Tan. novel yg gw suka Autumn In Paris
selain itu? Raditya Dika

dah ya dah dini hari neeh, oh lupa tgl 4 ya sekarang wkwkwkwk cuma mau bilang harusnya ini Happy Anniversary yg ke-43 bulan yaa My Fairy ? :p
husss pacar orang sekarang doi, hahahaaha, kontak aja udah nggak,


Menulis itu menyenangkan, karna kamu bisa menuangkan segala pemikiran dengan ketulusan tanpa harus takut akan kesalahan.

Wanna play? Come On !
Share:

Anything for my information

Its my profile

My photo
Karawang, Jawa barat, Indonesia
My Full Name is Fauzi Cikal Antariksa. You can call me "Cikal". I live in Karawang, Perumnas - Galuh Mas street. My Principal : "Di awali dengan harapan, di akhiri dengan kepastian"

Followers

Popular Posts

Signature

Masa Lalu bukan momok yang menakutkan, kiranya kita dapat menjadikannya pembelajaran, untuk perubahan di masa depan -c-

Pages

visitor :

Flag Counter